Seketika Viona menginjak pedal gasnya dan membelok kemudinya ke arah jalan raya. Beruntung lalu lintas tak terlalu sibuk. Tapi sepertinya Rei tak mau membiarkan Viona lolos begitu saja. Dengan sigap pula ia membalikkan arah laju mobilnya kembali ke jalan besar mengikuti jejak Viona.
Viona bisa melihat dari
kaca spion kalau mobil hitam itu mengikutinya dan masih setia dengan
bunyi klakson yang dipukul secara marah, menyuruhnya untuk berhenti.
Jangan harap. Jikapun ingin bermain kejar-kejaran Viona tak takut. Ia
cukup ahli dengan mobil ini dan sangat mengenal traffic kota ini yang
sangat gila. Ia dengan lihai menyalip beberapa kendaraan. Huh, bukan kau
saja yang bisa mengemudi gila-gilaan. Batin Viona.
Rei terus saja
mengumpati tindakan ceroboh Viona dari balik kemudi escaladenya.
Jantungnya berdesir tak karuan saat melihat istrinya membawa mobil
secara brutal dan mencoba terus mendahului kendaraan di depannya. Kali
ini dia menyesal memilihkan Viona mobil seperti itu. Mungkin akan lebih
aman jika ia memilihkan SUV atau matic.
Namun kadang, keahlian seseorang menjadi tak berarti saat memang Tuhan tak menghendaki. Begitupun saat Viona hendak mengambil belokan ke kiri, tibatiba ada sebuah motor yang menyerobot jalurnya. Kejutan itu membuat reflek Viona membanting stir ke kiri demi menghindari si pengendara ceroboh. Sayangnya, mobil Viona dengan keras malah menghajar pembatas jalan.
Namun kadang, keahlian seseorang menjadi tak berarti saat memang Tuhan tak menghendaki. Begitupun saat Viona hendak mengambil belokan ke kiri, tibatiba ada sebuah motor yang menyerobot jalurnya. Kejutan itu membuat reflek Viona membanting stir ke kiri demi menghindari si pengendara ceroboh. Sayangnya, mobil Viona dengan keras malah menghajar pembatas jalan.
Kejadian itu terasa
seperti adegan lambat yang menyentakkan jantungnya. "Viona!!" Demi
apapun Rei ingin melompat dan menghentikan moil itu. Tapi apalah daya,
ia hanya manusia biasa. Mobil Viona masih melaju sampai akhirnya sebuah
pohon yang menghentikannya. Suara benturan antara logam dan kayu memekin
mengundang seluruh pasang mata yang ada di jalan raya. Lidah Rei terasa
kelu bahkan hanya untuk menyebut nama yang paling ia cintai.
Rei segera menghentikan
mobilnya, ia bahkan tak menepi. Ia hanya fokus pada sebuah convertibel
yang ringsek menghantam batang pohon. Orang-orang mulai berdatangan dan
berkerumun. Beberapa mencoba mendekat untuk melihat kondisi si
penumpang.
Rei dengan panik
menerobos kerumunan dan langsung menuju pintu kemudi. "Viona.." suaranya
bergetar menahan kengerian. Ia bisa melihat tubuh mungil wanitanya
terhimpit antara bantalan pengaman dan pintu. Yang membuat tulang-tulang
di kakinya seperti meleleh adalah warna merah kental yang menghiasi
kaca mobil di depannya.
Dengan menguatkan diri
sendiri, Rei mencoba untuk membuka pintu Ben. Masih terkunci dengan
rapat. Ia tak punya pilihan selain memecah kaca jendelanya. Rei harus
sangat berhati-hati agar serpihan kacanya tak melukai Viona. Satu
pukulan berhasil meretakkan kaca film, dan pukulan selanjutnya jendela
itu ringsek sebagian. Kaca yang menjadi sandaran kepala Viona tetap
utuh. Tangan kanan Rei terjulur ke bagian dalam mobil mencoba untuk
menonaktifkan kunci lalu membuka pintu dengan amat hati-hati.
Mengeluarkan tubuh Viona dan membaringkannya di atas tanah.
"Bangun sayang.." Rei
mengguncang dengan lembut tubuh rapuh dalam dekapannya. Jika darah yang
masih basah di pelipis Viona membuat seluruh alat geraknya seperti
lumpuh, maka darah yang mengalir di antara paha dan sela-sela dress one
piece yang dipakai istrinya mampu membuat jantungnya seperti teriris
belati berkarat. "Ya Tuhan! Viona, kau.."
"Pak, lebih baik
istrinya dibawa ke rumah sakit." Suara salah seorang warga yang
mengerumuni tempat kecelakaan menyadarkan Rei. Ya, dia harus segera
membawa Viona ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Tanpa menunggu apa-apa
lagi, kedua lengan Rei menelusup anatar bawah lutut dan bahu Viona.
mengangkatnya dengan sangat hati-hati seolah Viona adalah kaca tipis
yang jika berguncang sedikit saja akan pecah.
Rei masih punya harapan.
Ya.. sekali ini saja ia memohon. Apapun akan ia lakukan untuk Viona,
memberikan seluruh hidupnya pun akan ia lakukan. "Bertahanlah sayang.."
Rei mengemudi sambil sesekali melirik ke jok belakang dimana wanitanya
masih terkulai tak bergerak. "Kumohon selamatkan dia ya Tuhan..
selamatkan mereka.." Entahlah, Rei merasakan sesuatu. Ia punya firasat
tak mengenakkan mengenai ini.
.
.
.
Ada rasa perih pada sudut bibir Viona saat ia ingin mengucap sesuatu. Juga nyeri di daerah kepalanya. Tapi yang paling menyentak kesadarannya adalah rasa sakit yang teramat pada perutnya. Matanya terbuka lebar dan mendapati Rei sedang mengecupi punggung tangannya yang bebas jarum infus.
.
.
.
Ada rasa perih pada sudut bibir Viona saat ia ingin mengucap sesuatu. Juga nyeri di daerah kepalanya. Tapi yang paling menyentak kesadarannya adalah rasa sakit yang teramat pada perutnya. Matanya terbuka lebar dan mendapati Rei sedang mengecupi punggung tangannya yang bebas jarum infus.
"Hey.." sapa Rei serak.
Ia seperti orang yang tak mandi selama seminggu, acak-acakan dengan
masih mengenakan piyama merah mudanya. Tatapan sendunya sedikit menohok
hati Viona.
"Bayiku?!" tiba-tiba
pertanyaan itu terlontar dari mulut Viona. Ia tak perduli jika Rei
bertanya tentang kehamilannya. Ia hanya ingin tahu soal keadaan bayi di
dalam rahimnya.
Rei tertegun mendengar pertanyaan Viona, sedetik kemudian tatapannya kembali menjadi sendu. Lebih menyedihkan.
"Katakan padaku!" tuntut
Viona, dengan kasar ia menarik tangannya yang berada dalam genggaman
Rei. Hatinya tiba-tiba bergemuruh oleh sesuatu, bersiap untuk hal
mengerikan yang tak pernah ia ingin dengar.
Rei hanya menggeleng
lemah, dan itu sudah bisa menjelaskan semuanya. Viona memejamkan matanya
erat-erat, berusaha menahan luapan emosi yang siap meledak dalam
dirinya. Sedih, marah, kecewa.. Rei menggenggam buku-buku jari Viona
yang mengetat.
"Maafkan aku.."
Rasa perih di hatinya
mengalahkan nyeri berkepanjangan di bagian perutnya. Hanya tiga hari dan
setitik asa bahagianya langsung direnggut dari Viona.
"Keluar.." geram Viona, lagi-lagi ia menepis genggaman Rei.
"Vio kumohon.."
"Lepaskan aku! Keluar
kubilang!" Viona semakin memberontak dan tak memperdulikan jarum infus
yang mulai melukai pergelangan tangannya.
Rei bertindak cepat menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.
"Keluar kau dasar
brengsek.." segala emosi Viona akhirnya tertumpah dalam genangan di
pelupuk matanya, mengalir tanpa ampun melewati pipi mulusnya. "Pergi!"
Dua perawat dan seorang
dokter mendatangi kamar yang ditempati Viona. Mencoba menenangkan gadis
yang kini meronta dan menjerit dengan pilu. Dokter dengan sigap dibantu
oleh perawat yang memegangi Viona menyuntikkan obat penenang.
Perlahan tapi pasti obat
itu mulai bereaksi. Rei bersyukur Viona sudah mulai tenang. Tapi di
sela-sela ketidaksadaran yang menghampirinya, Viona melemparkan satu
kata dengan sangat lirih namun masih bisa didengar Rei dan membuatnya
terhenyak.
"Pembunuh.."
.
.
.
Beberapa hari terakhir ini dijalani seperti mayat hidup oleh Viona. Wanita itu hanya terus berbaring di kamarnya. Menolak untuk bicara pada siapapun, terutama Rei. Bahkan Viona tak menghiraukannya meski mereka masih tidur serangjang. Ia hanya terus memunggungi Rei yang tak jarang terus memeluknya dari belakang.
.
.
.
Beberapa hari terakhir ini dijalani seperti mayat hidup oleh Viona. Wanita itu hanya terus berbaring di kamarnya. Menolak untuk bicara pada siapapun, terutama Rei. Bahkan Viona tak menghiraukannya meski mereka masih tidur serangjang. Ia hanya terus memunggungi Rei yang tak jarang terus memeluknya dari belakang.
Kedua mertuanya bahkan
ayahnya sendiripun sudah mencoba menghibur Viona namun semua terasa
sia-sia. Kinanti, mamanya Rei, telah datang berkali-kali dan memberi
Viona semangat dan petuah-petuah agar cepat bangkit kembali. Pun begitu
ayahnya, ia selalu datang menjenguknya yang selalu hanya ditanggapi
senyum datar tak bernyawa.
Gio dan Naya bahkan juga
sudah mencoba membuat Viona kembali seperti dulu. Namun semua terasa
mustahil mengingat apa yang terjadi pada Viona dalam beberapa waktu
terakhir. Masalahnya dengan Rei dan bayinya. Semuanya terasa menindih
Viona dan membuatnya mati rasa.
"Vi.. kamu ngga boleh
gitu.. kasian Rei.. kasian diri kamu sendiri kalau kamu kayak gini
terus." Naya mulai kembali ceramahnya. Perutnya yang mulai membuncit
tidak menghalaginya menemui wanita yang kini memandang hampa pada
pemandangan luar jendela.
"Aku tau ini berat buat
kamu dan Rei. Tapi setidaknya kalian bisa mencoba lagi. Jangan karena
hal ini kamu menyerah dan berputus asa seperti ini." Viona masih saja
tak menghiraukan dari boss gedung tetangganya. Jendela sudah seperti
magnet kuat bagi matanya.
"Kau tau? Ini sama
sekali bukan Viona yang kukenal." Gio mulai angkat bicara ketika
istrinya undur diri ke kamar mandi. "Kau tak akan secepat ini menyerah
hanya karna gagal satu kali." Lanjut Gio. "Kau bukan orang yang akan
langsung berputus asa ketika sebuah produk gagal di pasaran. Kau akan
merombaknya dan memenangi hati para konsumen. Aku tidak pernah.."
"Aku akan bercerai, Gi."
Viona menatap Gio dan langsung menembakkan kalimat itu. Entah kenapa
Viona mengatakan ini pada Gio. Tapi setidaknya harus ada satu orang yang
mau mengerti kenapa dia seperti orang tak waras. Atau memang dia sudah
tak waras.
"A..Apa?" Gio tergagap oleh pernyataan Viona.
"Ya, kau benar dari
awal. Ada sesuatu tentang pernikahan kami." Wanita itu kembali
mengalihkan pandangannya pada pemandangan yang disuguhkan dari luar
jendela.
"Tapi , apa.." Gio mengurungkan pertanyaannya kala mendengar pintu kamar mandi yang terbuka.
Naya menghampiri mereka
dan berbisik sesuatu pada suaminya. Gio mengangguk pelan dan berpamitan
pada Viona dengan masih menggantungkan sejuta rasa penasaran terhadap
keputusan bosnya itu.
Tak berselang lama dari
kepergian pasangan suami istri tadi, Bibi Ama masuk membawa makanan.
Ya, semenjak Viona mengalami kecelakaan, Bibi Ama kembali ke rumah Rei
dan mengurusinya. Bibi Ama tak pernah menyinggung tentang kejadian yang
dialami Viona dan tak berusaha dengan keras untuk membuat Viona kembali
seperti dulu. Ia hanya akan menemani Viona makan dan bercerita tentang
sesuatu yang menyenangkan. Tentang kebiasaan ayahnya saat bibi Ama
tinggal beberapa waktu yang lalu, atau hanya akan bertanya makanan apa
yang diinginkan Vona, yang pasti akan dijawabnya 'terserah bibi saja.'
Tetapi ada yang beda kali ini. Ada yang mulai bangkit dari dalam dirinya
dan meminta sesuatu pada bibi Ama.
.
.
Tbc
.
.
Tbc
0 Response to "Hopeless Part 68"
Post a Comment