Hopeless Part 68

.
Seketika Viona menginjak pedal gasnya dan membelok kemudinya ke arah jalan raya. Beruntung lalu lintas tak terlalu sibuk. Tapi sepertinya Rei tak mau membiarkan Viona lolos begitu saja. Dengan sigap pula ia membalikkan arah laju mobilnya kembali ke jalan besar mengikuti jejak Viona.
Viona bisa melihat dari kaca spion kalau mobil hitam itu mengikutinya dan masih setia dengan bunyi klakson yang dipukul secara marah, menyuruhnya untuk berhenti. Jangan harap. Jikapun ingin bermain kejar-kejaran Viona tak takut. Ia cukup ahli dengan mobil ini dan sangat mengenal traffic kota ini yang sangat gila. Ia dengan lihai menyalip beberapa kendaraan. Huh, bukan kau saja yang bisa mengemudi gila-gilaan. Batin Viona.
Rei terus saja mengumpati tindakan ceroboh Viona dari balik kemudi escaladenya. Jantungnya berdesir tak karuan saat melihat istrinya membawa mobil secara brutal dan mencoba terus mendahului kendaraan di depannya. Kali ini dia menyesal memilihkan Viona mobil seperti itu. Mungkin akan lebih aman jika ia memilihkan SUV atau matic.
Namun kadang, keahlian seseorang menjadi tak berarti saat memang Tuhan tak menghendaki. Begitupun saat Viona hendak mengambil belokan ke kiri, tibatiba ada sebuah motor yang menyerobot jalurnya. Kejutan itu membuat reflek Viona membanting stir ke kiri demi menghindari si pengendara ceroboh. Sayangnya, mobil Viona dengan keras malah menghajar pembatas jalan.
Kejadian itu terasa seperti adegan lambat yang menyentakkan jantungnya. "Viona!!" Demi apapun Rei ingin melompat dan menghentikan moil itu. Tapi apalah daya, ia hanya manusia biasa. Mobil Viona masih melaju sampai akhirnya sebuah pohon yang menghentikannya. Suara benturan antara logam dan kayu memekin mengundang seluruh pasang mata yang ada di jalan raya. Lidah Rei terasa kelu bahkan hanya untuk menyebut nama yang paling ia cintai.
Rei segera menghentikan mobilnya, ia bahkan tak menepi. Ia hanya fokus pada sebuah convertibel yang ringsek menghantam batang pohon. Orang-orang mulai berdatangan dan berkerumun. Beberapa mencoba mendekat untuk melihat kondisi si penumpang.
Rei dengan panik menerobos kerumunan dan langsung menuju pintu kemudi. "Viona.." suaranya bergetar menahan kengerian. Ia bisa melihat tubuh mungil wanitanya terhimpit antara bantalan pengaman dan pintu. Yang membuat tulang-tulang di kakinya seperti meleleh adalah warna merah kental yang menghiasi kaca mobil di depannya.
Dengan menguatkan diri sendiri, Rei mencoba untuk membuka pintu Ben. Masih terkunci dengan rapat. Ia tak punya pilihan selain memecah kaca jendelanya. Rei harus sangat berhati-hati agar serpihan kacanya tak melukai Viona. Satu pukulan berhasil meretakkan kaca film, dan pukulan selanjutnya jendela itu ringsek sebagian. Kaca yang menjadi sandaran kepala Viona tetap utuh. Tangan kanan Rei terjulur ke bagian dalam mobil mencoba untuk menonaktifkan kunci lalu membuka pintu dengan amat hati-hati. Mengeluarkan tubuh Viona dan membaringkannya di atas tanah.
"Bangun sayang.." Rei mengguncang dengan lembut tubuh rapuh dalam dekapannya. Jika darah yang masih basah di pelipis Viona membuat seluruh alat geraknya seperti lumpuh, maka darah yang mengalir di antara paha dan sela-sela dress one piece yang dipakai istrinya mampu membuat jantungnya seperti teriris belati berkarat. "Ya Tuhan! Viona, kau.."
"Pak, lebih baik istrinya dibawa ke rumah sakit." Suara salah seorang warga yang mengerumuni tempat kecelakaan menyadarkan Rei. Ya, dia harus segera membawa Viona ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Tanpa menunggu apa-apa lagi, kedua lengan Rei menelusup anatar bawah lutut dan bahu Viona. mengangkatnya dengan sangat hati-hati seolah Viona adalah kaca tipis yang jika berguncang sedikit saja akan pecah.
Rei masih punya harapan. Ya.. sekali ini saja ia memohon. Apapun akan ia lakukan untuk Viona, memberikan seluruh hidupnya pun akan ia lakukan. "Bertahanlah sayang.." Rei mengemudi sambil sesekali melirik ke jok belakang dimana wanitanya masih terkulai tak bergerak. "Kumohon selamatkan dia ya Tuhan.. selamatkan mereka.." Entahlah, Rei merasakan sesuatu. Ia punya firasat tak mengenakkan mengenai ini.
.
.
.
Ada rasa perih pada sudut bibir Viona saat ia ingin mengucap sesuatu. Juga nyeri di daerah kepalanya. Tapi yang paling menyentak kesadarannya adalah rasa sakit yang teramat pada perutnya. Matanya terbuka lebar dan mendapati Rei sedang mengecupi punggung tangannya yang bebas jarum infus.
"Hey.." sapa Rei serak. Ia seperti orang yang tak mandi selama seminggu, acak-acakan dengan masih mengenakan piyama merah mudanya. Tatapan sendunya sedikit menohok hati Viona.
"Bayiku?!" tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari mulut Viona. Ia tak perduli jika Rei bertanya tentang kehamilannya. Ia hanya ingin tahu soal keadaan bayi di dalam rahimnya.
Rei tertegun mendengar pertanyaan Viona, sedetik kemudian tatapannya kembali menjadi sendu. Lebih menyedihkan.
"Katakan padaku!" tuntut Viona, dengan kasar ia menarik tangannya yang berada dalam genggaman Rei. Hatinya tiba-tiba bergemuruh oleh sesuatu, bersiap untuk hal mengerikan yang tak pernah ia ingin dengar.
Rei hanya menggeleng lemah, dan itu sudah bisa menjelaskan semuanya. Viona memejamkan matanya erat-erat, berusaha menahan luapan emosi yang siap meledak dalam dirinya. Sedih, marah, kecewa.. Rei menggenggam buku-buku jari Viona yang mengetat.
"Maafkan aku.."
Rasa perih di hatinya mengalahkan nyeri berkepanjangan di bagian perutnya. Hanya tiga hari dan setitik asa bahagianya langsung direnggut dari Viona.
"Keluar.." geram Viona, lagi-lagi ia menepis genggaman Rei.
"Vio kumohon.."
"Lepaskan aku! Keluar kubilang!" Viona semakin memberontak dan tak memperdulikan jarum infus yang mulai melukai pergelangan tangannya.
Rei bertindak cepat menekan tombol darurat untuk memanggil perawat.
"Keluar kau dasar brengsek.." segala emosi Viona akhirnya tertumpah dalam genangan di pelupuk matanya, mengalir tanpa ampun melewati pipi mulusnya. "Pergi!"
Dua perawat dan seorang dokter mendatangi kamar yang ditempati Viona. Mencoba menenangkan gadis yang kini meronta dan menjerit dengan pilu. Dokter dengan sigap dibantu oleh perawat yang memegangi Viona menyuntikkan obat penenang.
Perlahan tapi pasti obat itu mulai bereaksi. Rei bersyukur Viona sudah mulai tenang. Tapi di sela-sela ketidaksadaran yang menghampirinya, Viona melemparkan satu kata dengan sangat lirih namun masih bisa didengar Rei dan membuatnya terhenyak.
"Pembunuh.."
.
.
.
Beberapa hari terakhir ini dijalani seperti mayat hidup oleh Viona. Wanita itu hanya terus berbaring di kamarnya. Menolak untuk bicara pada siapapun, terutama Rei. Bahkan Viona tak menghiraukannya meski mereka masih tidur serangjang. Ia hanya terus memunggungi Rei yang tak jarang terus memeluknya dari belakang.
Kedua mertuanya bahkan ayahnya sendiripun sudah mencoba menghibur Viona namun semua terasa sia-sia. Kinanti, mamanya Rei, telah datang berkali-kali dan memberi Viona semangat dan petuah-petuah agar cepat bangkit kembali. Pun begitu ayahnya, ia selalu datang menjenguknya yang selalu hanya ditanggapi senyum datar tak bernyawa.
Gio dan Naya bahkan juga sudah mencoba membuat Viona kembali seperti dulu. Namun semua terasa mustahil mengingat apa yang terjadi pada Viona dalam beberapa waktu terakhir. Masalahnya dengan Rei dan bayinya. Semuanya terasa menindih Viona dan membuatnya mati rasa.
"Vi.. kamu ngga boleh gitu.. kasian Rei.. kasian diri kamu sendiri kalau kamu kayak gini terus." Naya mulai kembali ceramahnya. Perutnya yang mulai membuncit tidak menghalaginya menemui wanita yang kini memandang hampa pada pemandangan luar jendela.
"Aku tau ini berat buat kamu dan Rei. Tapi setidaknya kalian bisa mencoba lagi. Jangan karena hal ini kamu menyerah dan berputus asa seperti ini." Viona masih saja tak menghiraukan dari boss gedung tetangganya. Jendela sudah seperti magnet kuat bagi matanya.
"Kau tau? Ini sama sekali bukan Viona yang kukenal." Gio mulai angkat bicara ketika istrinya undur diri ke kamar mandi. "Kau tak akan secepat ini menyerah hanya karna gagal satu kali." Lanjut Gio. "Kau bukan orang yang akan langsung berputus asa ketika sebuah produk gagal di pasaran. Kau akan merombaknya dan memenangi hati para konsumen. Aku tidak pernah.."
"Aku akan bercerai, Gi." Viona menatap Gio dan langsung menembakkan kalimat itu. Entah kenapa Viona mengatakan ini pada Gio. Tapi setidaknya harus ada satu orang yang mau mengerti kenapa dia seperti orang tak waras. Atau memang dia sudah tak waras.
"A..Apa?" Gio tergagap oleh pernyataan Viona.
"Ya, kau benar dari awal. Ada sesuatu tentang pernikahan kami." Wanita itu kembali mengalihkan pandangannya pada pemandangan yang disuguhkan dari luar jendela.
"Tapi , apa.." Gio mengurungkan pertanyaannya kala mendengar pintu kamar mandi yang terbuka.
Naya menghampiri mereka dan berbisik sesuatu pada suaminya. Gio mengangguk pelan dan berpamitan pada Viona dengan masih menggantungkan sejuta rasa penasaran terhadap keputusan bosnya itu.
Tak berselang lama dari kepergian pasangan suami istri tadi, Bibi Ama masuk membawa makanan. Ya, semenjak Viona mengalami kecelakaan, Bibi Ama kembali ke rumah Rei dan mengurusinya. Bibi Ama tak pernah menyinggung tentang kejadian yang dialami Viona dan tak berusaha dengan keras untuk membuat Viona kembali seperti dulu. Ia hanya akan menemani Viona makan dan bercerita tentang sesuatu yang menyenangkan. Tentang kebiasaan ayahnya saat bibi Ama tinggal beberapa waktu yang lalu, atau hanya akan bertanya makanan apa yang diinginkan Vona, yang pasti akan dijawabnya 'terserah bibi saja.' Tetapi ada yang beda kali ini. Ada yang mulai bangkit dari dalam dirinya dan meminta sesuatu pada bibi Ama.
.
.
Tbc

Related Posts:

0 Response to "Hopeless Part 68"

Post a Comment