Aku menunggu di kamar
yang selama sebulanan ini aku tempati di rumah Rei. Sudah seminggu aku
nggak kesini. Ya, seminggu ini aku tinggal di rumah, hanya untuk
sementara waktu saja. Karna aku dan Rei nggak boleh ketemu, ceritanya
dipingit. Aku sedang ditemani Naya dan Gio. Mereka baru tiba lusa, dan
tanpa bosan-bosannya menanyaiku ini itu. Udah dipikirin mateng-mateng?
Yakin? Nggak bakalan nyesel? Cinta mati ya sama Rei? Apa nggak mau
pacaran dulu? Apa sih yang bikin cepet-cepet? Dan yang paling sering
ditanyain adalah, kalian nggak kecelakaan kan?
Sudah berulang kali aku
meyakinkan mereka, tapi berulang kali juga merka menyakan itu. Bahkan
aku sudah bersumpah segala kalau aku masih Vir.
Di luar, tepatnya di
ruang tamu. Semua keluarga Rei dan keluargaku berkumpul, mengelilingi
meja kecil yang dilapisi kain berenda. Dimana Rei diapit oleh ayahku
dan ayahnya sendiri dan berhadapan dengan seorang pria berumur sekitar
kepala tiga, berpeci dan berjas rapi.
Aku hanya bisa menunggu
hingga acara di ruang tamu selesai, lalu nanti aku akan dipertemukan
untuk pertama kalinya dengan Rei, sebagai sepasang suami istri.
“Kau pasti gugup..” Naya
meremas tanganku yang tergenggam erat. Tak bisa dipungkiri, walau ini
pernikahan aspal, asli tapi palsu. Hatiku tidak bisa tenang begitu saja.
Berkali-kali aku menelan ludah untuk melicinkan tenggorokanku yang udah
kayak gurun sahara yang kering kerontang.
Aku bisa mendengar acara
telah dimulai, sang pembawa acara telah membukanya dengan info-info
mengenai penyatuan keluarga Rei dan keluargaku. Aku bisa mendengarnya
melalui pengeras suara, lalu dia mempersilahkan pada penghulu..
“Bismillahirrohmanirrohim..”
Deg..
Jantungku kayak lagi dinaikin roller coaster.
Sang penghulu membaca syahadah, lalu beristighfar tiga kali. Kemudian membaca basmalah kembali.
“Ananda Raihan Al Husain
putra dari Salim Al Husain saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan
Viona anjalina kamal putri dari kamaludin baghdadi dengan mas kawin
seperangkat alat sholat, perhiasan dan uang, tunai.”
Aku menarik nafas dan menahannya. Seperti berada di atas puncak roller coaster tertinggi di dunia yang siap menukik ke bawah.
“Saya terima, nikah dan kawinnya Viona Anjalina Kamal putri dari Kamaludin Baghdadi dengan mas kawin yang tersebut tunai.”
“Sah?”
“Sah..” seprti paduan suara, para tetamu mensyahkan pernikahanku dengan Rei. Aku tak mampu menghela air mataku untuk tak jatuh.
“Viona.. hapus air
matamu, sebentar lagi kita akan mengantarmu keluar.” Gio memberiku
selembar tisu. Untung aku sudah pesan make up yang tahan air. Kalau
nggak ya berantakan banget ni muka.
Lalu sang penghulu merapal do’a.
“Ayo Viona..” Naya
menggandeng tanganku. Seharusnya yang menuntunku, mengantarkanku pada
sang suami, adalah ibuku. Yah.. seharusnya dia. Maksudku ibu kandungku,
bukan nenek sihir itu. Sepertinya ayah berhasil membujuknya untuk tidak
menghadiri acara ini.
Aku melangkah perlahan,
amat perlahan karena aku memakai kebaya putih bersih nan cemerlang dan
bawahan kain jarik yang meliilit erat kakiku. Ampun, susah banget
jalannya.
Dan oh my god...
Aku kayak miss world yang lagi jalan di catwalk. Semua mata tertuju padaku.
Lalu mata itu, mata
elang nan dalam dan tajam, yang selama seminggu ini tak pernah kulihat.
Meski aku masuk kantor, aku tak pernah bertatap muka sekalipun. Demi
apapun, pemilik mata itu sekarang adalah suami sahku..
Ayah mengosongkan
kursinya untukku agar duduk bersanding dengan Rei. Sekilas sebelum
duduk, aku melihat Rei tersenyum tipis. Kami menandatangani beberapa
dokumen dan tentu saja buku warna hijau dan merah yang khas, buku
pernikahan.
Rei kemudian membaca sighat ta’lik.
“Sesudah akad nikah,
saya Raihan Al Husain bin Salim Al Husain berjanji dengan sesungguh hati
bahwa saya akan mempergauli istri saya yang bernama Vionan Anjalina
Kamal binti Kamaludin Baghdadi dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf)
menurut ajaran Islam.
Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut :Apabila saya :
1. Meninggalkan istri saya selama 2
(dua) tahun berturut-turut;
1. Meninggalkan istri saya selama 2
(dua) tahun berturut-turut;
2. Tidak memberi nafkah wajib
kepadanya 3 (tiga) bulan
lamanya;
kepadanya 3 (tiga) bulan
lamanya;
3. Menyakiti badan atau jasmani istri
saya;
saya;
4. Membiarkan (tidak
memperdulikan) istri saya selama
6 (enam) bulan atau lebih,
memperdulikan) istri saya selama
6 (enam) bulan atau lebih,
Dan karena perbuatan
saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan
tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh
ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah
talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.
Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.
Jakarta, 21 November 2014
Suami,
Suami,
(Raihan Al Husain)
Dengan penuh ketegasan
Rei melafalkan kalimat-kalimat sighat ta’liknya. Sighat ta’lik itu tak
berrati apapun, karna kami punya perjanjian hitam di atas putih lainnya
yang benar-benar mendasari pernikahan ini.
Kami menandatangi buku
pernikahan dan beberapa dokumen. Lalu sesi foto memperlihatkan buku
pernikahan kami sambil tersenyum bahagia, mencium tangan Rei.. dan Rei
mencium keningku.
Dan yang paling
membuatku terharu adalah sungkem yang kami lakukan. Rasa haru memenuhi
seluruh hatiku. Ini pernikahan tanpa dasar cinta, tapi aku masih punya
hati yang bisa terharu untuk hal-hal seperti ini. Pertama, aku dan Rei
sungkem pada pak salim dan tante kinanti, yang notabenenya sekarang udah
jadi mertuaku yang syah. Lalu berganti pada ayah dan bulekku. Ya,
satu-satunya keluarga dekat yang bisa hadir Cuma tante rachel. Karna
yang lain berada di luar kota yang cukup jauh, bahkan ada juga yang
diluar jawa. Tante rachel mengatakan kalau ada waktu mereka akan segera
berkunjung dalam waktu dekat.
Sebelum resepsi, kami
melakukan foto keluarga di rumah. Dan dengan cepat aku sudah berganti
pakaian lagi, kali ini dengan gaun yang lebih santai untuk foto
pernikahan bernuansa pesta kebun. Lagi-lagi fotografer mengarahkan
gerakan kami. Kali ini aku lebih santai karna posisiku tak terlalu intim
dengan Rei, dan sepertinya fotografernya nggak terlalu mempermasalahkan
pose-poseku.
Resepsi. Bagian paling
menyiksaku!! Aku harus berdiri selama berjam-jam dengan heels yang cukup
tinggi, dan aku harus tetap terus tersenyum menyalami para tamu
undangan yang sebagian besar nggak kukenal. Tentu delapan puluh enam
puluh persen yang hadir adalah rekan bisnisnya Rei dan papa mertuaku,
ceilah papa mertua. Tiga puluh persennya keluarga besar Rei, dan sisanya
keluarga dan teman-temanku. Termasuk para karyawan di lantai sembilan
yang kuundang semua, sebenernya aku masih punya sisa banyak undangan,
tapi aku bingung mau dikasih ke siapa, banyak temanku dulu yang udah
lost contact dan hanya bisa menghubunginya beberapa. Syukur ada yang
yang dateng -_- .
“Lepas saja sepatumu
Vio, toh nggak keliatan juga ketutup gaun.” Saran Rei. Aku mengikuti
sarannya, dengan hati-hati, agar nggak keliatan orang juga, melepas
sepasang heelsku. “lebih baik.”
Aku mengangguk dan
tersenyum lalu kembali melayani tamu yang ingin megucapkan selamat dan
berfoto. Haha.. mana ada penganten nyeker.
Kelompok yang paling heboh tentu saja.. rekan-rekan kerjaku, terutama Yuni.
“Bu Viona....!! Akhirnya ibu nikah juga, berarti selama ini kita nggak ngegosip lo bu..” ni anak masih juga ngeles.
“Kalian emang nggak ngegosip tapi tetep aja ngomongin orang..”
“Tapi bu Viona masih mau masuk kerja kan?” tanya rama. Kudengar setelah Gio masuk dia akan kembali ke departemen perencana.
“Ya, dia nggak bakalan
bisa tahan kalau di rumah terus.” Jadi Rei ngijinin ya? Kukira dia
bakalan nyuruh aku tinggal di rumah aja, syukurlah.. aku memang belum
membicarakan hal ini dengannya.
“Ayo, ambil gambar dulu,
yang lain udah pada ngantri tuh” aku memperingatkan mereka supaya
jangan lama-lama, dan aku juga jangan memalukanku.
“Ayo..ayo..” Yuni menginstuksi yang lain untuk berbaris sejajar denganku dan Rei.
“Selamat ya bu..”
setelah sesi poto-poto mereka kembali menyalamiku dan Rei. “jangan
lama-lama bulan madunya, ntar nggak ada yang marahin kita lho..”
Eh bulan madu? Aku menatap Rei bingung. Kemana kita akan berbulan madu. Eh tidak, apakah kita akan berbulan madu?
“Mungkin cuman mau cuti
setengah bulan saja. Saya nggak bisa ninggalin perusahaan lama-lama.”
Ujar Rei tiba-tiba. Setengah bulan? Aku mau di bawa kemana???
“Wah.. sekretarisnya si ibu aja cuti satu bulan masak istrinya pak direktur cuman dua minggu..”
“Yuni!” mulutnya suka sembarangan aja ni anak.
“Haha..iya.. waktu saya
terbatas, mungkin suatu saat saya akan menggantinya di bulan madu kedua
kami.” Bulan madu kedua? Haha Rei ini ada-ada saja.
TBC
0 Response to "Hopeless Part 20"
Post a Comment